Kepada seorang lelaki tanpa nama,
Ku tulis surat ini di atas kertas lusuh tak bertinta.
Ingin ku kabarkan kepadamu, kini aku bahagia!!
Lalu, tidakkah kau bahagia juga di sana??
Seperti yang kau kenal dulu, aku tetaplah seorang hawa yang slalu gila pada aksara.
Pun, kini terus saja ku tulis bebatuan, bentang bumi, dan luas langit untuk menggambarkan segelintir definisi kehidupan yang tanpa jeda melagukan ritme warna-warni semesta.
Dan kali ini, izinkan ku gambarkan kisah tentangmu..
Masih ingat??
Kau hadir di balik nuansa kesejukan musim gugur bulan Oktober.
Dengan seikat bunga sisa musim semi di tanganmu kala itu.
Kau tahu, aku tak pernah suka bunga.
Tapi kau memaksa.
Hingga lamat-lamat ku cium harumnya, dan aku pun mulai jatuh cinta.
Namun, seiring musim berganti kau memilih untuk pergi tepat di musim dingin bulan Februari.
Aku remuk, menyisakan amuk.
Terseok dalam labirin tak bertepi.
Menyusuri tiap jengkal jejakmu.
Hingga ku dapati kakiku berada di persimpangan jalan, antara ragu dan ketidakpastian.
Tak tau arah kemana kakiku harus melangkah.
Ragaku limbung tersapu mendung.
Meski terkapar sudah ragaku oleh sebab kau koyak moyak hatiku, pun, aku masih mencoba tegar.
Tak ku izinkan seorangpun mencuri dengar lolong jeritanku.
Namun sekuat apapun aku bertahan, aku tetap bukan kaktus berduri di tengah bentang sahara yang sanggup melawan perih. Bukan pula batu yang membisu dengan pongah cadasku. Adalah aku seorang hawa dengan kelemahan tanpa jeda.
Dalam raga yang terus meronta, ku rasakan TanganNya meraihku dan mengusap leleh air mataku.
Pelan tapi pasti ku mulai meraba hati.
Mungkin ini kebodohanku.
Sebab aku mencintai bunga yang mudah mati kala musim berganti.
Tiba-tiba adrenalinku gegap menyergap penuh asa.
Luapkan sinar melerai muram buram semesta.
Tak akan ku biarkan perasaanku larut lerap dalam sedu sedan tak berhujjah.
Cukup sudah.
Tak akan ada lagi air mata yang menetes sia-sia.
Ku harus terus songsong hidup, membelakangi bayangmu yang tak lagi utuh.
Lantunkan ikrar di hati bahwa tak akan pernah ku berputus asa meski kesedihan menggerinda.
Tak akan ada lelehan air mata meski harus hatiku terluka parah.
Pun, rapuh ragaku mundur meski urat nadiku kendur.
Dia memang Sang Maha Kuasa yang merajai hati tiap manusia.
Tak butuh hitungan masa, Dia mampu menyembuhkan hati yang tengah terluka.
Musim berganti. . .
Namun, mengapa sayup-sayup masih saja ku dengar derap langkahmu menyapa?
Saat serpih renjana tak lagi ada.
Saat rasa tak lagi sudi ku sapa.
Aku ragu, fakta kah itu? Atau sekedar ilusiku?
Kau bilang: “YA!”
Tapi aku lantang bilang: “TIDAK!!”
Kau mau aku ABADI.
Sementara ku pekikkan kau MATI.
Duhai, dengarlah!
Semua tak lagi sama.
Pendengaranku kini purna pekak dari rasa yang kau sebut cinta.
Sebab raga ini, sebab jiwa ini, sebab hati ini. . .
Ah, biarkan ku ukir alur hidupku tanpa goresan campur tanganmu.
Sebab ku tak lagi mau.
Biar ku lewati hari yang tersisa dengan senyum dan canda tanpa harus kau ikut di dalamnya.
Sungguh, tak perlu kau menangis sesedu sedan itu.
Tak perlu kau sabdakan cinta dengan mulut penuh busa.
Pun, tak perlu kau menyesalinya dan menjadi orang paling salah.
Perlu kau tau, aku begini bukan karena ku benci.
Tapi jangan pula kau mengira wajahku selamanya sebuah samudera, sebab kadang aku laikna api yang baru merasa merdeka dengan nyalanya bara.
Meski kadang aku masih sukar untuk belajar, saat fakta tak lagi bisa selaras dengan asa.
Saat Dia tak memberi apa yang aku ingini.
Tapi aku yakin TakdirNya lebih indah dari apa yang manusia reka.
Memang tak ada yang istimewa dengan kisahku.
Tapi aku patut bersyukur saat CintaNya mampu meretas semua lara.
Hidup bukan sekedar hitam atau putih, melainkan perpaduan gradasi pelangi.
Nanti, saat ku telah purna lupa dari duka lara kan ku tertawakan diri sendiri oleh sebab kebodohan dan kenaifan.
Dear Lelaki Tanpa Nama,
Ingin rasanya ku terus gerakkan tarian larik kata dari balik buku-buku jemariku.
Menuangkan kabar padamu.
Tapi rupanya mataku telah lelah untuk terus terpicing dan ujung pensilku pun kini tak lagi runcing.
Maka izinkan ku untuk terakhir kalinya mengucap salam takzim perpisahan.
Seperti ikrarku sejak hari itu: Tak akan pernah kubiarkan lagi ragaku mengejar Matahari. Tak akan!!
Terakhir, untuk kamu yang masih berdiri dan mengirim kata-kata dari balik lautan,
Dari mu aku belajar untuk intipan keberadaan lain,
Sungguh hanya sehela napas ringan. . .
Ku tulis surat ini di atas kertas lusuh tak bertinta.
Ingin ku kabarkan kepadamu, kini aku bahagia!!
Lalu, tidakkah kau bahagia juga di sana??
Seperti yang kau kenal dulu, aku tetaplah seorang hawa yang slalu gila pada aksara.
Pun, kini terus saja ku tulis bebatuan, bentang bumi, dan luas langit untuk menggambarkan segelintir definisi kehidupan yang tanpa jeda melagukan ritme warna-warni semesta.
Dan kali ini, izinkan ku gambarkan kisah tentangmu..
Masih ingat??
Kau hadir di balik nuansa kesejukan musim gugur bulan Oktober.
Dengan seikat bunga sisa musim semi di tanganmu kala itu.
Kau tahu, aku tak pernah suka bunga.
Tapi kau memaksa.
Hingga lamat-lamat ku cium harumnya, dan aku pun mulai jatuh cinta.
Namun, seiring musim berganti kau memilih untuk pergi tepat di musim dingin bulan Februari.
Aku remuk, menyisakan amuk.
Terseok dalam labirin tak bertepi.
Menyusuri tiap jengkal jejakmu.
Hingga ku dapati kakiku berada di persimpangan jalan, antara ragu dan ketidakpastian.
Tak tau arah kemana kakiku harus melangkah.
Ragaku limbung tersapu mendung.
Meski terkapar sudah ragaku oleh sebab kau koyak moyak hatiku, pun, aku masih mencoba tegar.
Tak ku izinkan seorangpun mencuri dengar lolong jeritanku.
Namun sekuat apapun aku bertahan, aku tetap bukan kaktus berduri di tengah bentang sahara yang sanggup melawan perih. Bukan pula batu yang membisu dengan pongah cadasku. Adalah aku seorang hawa dengan kelemahan tanpa jeda.
Dalam raga yang terus meronta, ku rasakan TanganNya meraihku dan mengusap leleh air mataku.
Pelan tapi pasti ku mulai meraba hati.
Mungkin ini kebodohanku.
Sebab aku mencintai bunga yang mudah mati kala musim berganti.
Tiba-tiba adrenalinku gegap menyergap penuh asa.
Luapkan sinar melerai muram buram semesta.
Tak akan ku biarkan perasaanku larut lerap dalam sedu sedan tak berhujjah.
Cukup sudah.
Tak akan ada lagi air mata yang menetes sia-sia.
Ku harus terus songsong hidup, membelakangi bayangmu yang tak lagi utuh.
Lantunkan ikrar di hati bahwa tak akan pernah ku berputus asa meski kesedihan menggerinda.
Tak akan ada lelehan air mata meski harus hatiku terluka parah.
Pun, rapuh ragaku mundur meski urat nadiku kendur.
Dia memang Sang Maha Kuasa yang merajai hati tiap manusia.
Tak butuh hitungan masa, Dia mampu menyembuhkan hati yang tengah terluka.
Musim berganti. . .
Namun, mengapa sayup-sayup masih saja ku dengar derap langkahmu menyapa?
Saat serpih renjana tak lagi ada.
Saat rasa tak lagi sudi ku sapa.
Aku ragu, fakta kah itu? Atau sekedar ilusiku?
Kau bilang: “YA!”
Tapi aku lantang bilang: “TIDAK!!”
Kau mau aku ABADI.
Sementara ku pekikkan kau MATI.
Duhai, dengarlah!
Semua tak lagi sama.
Pendengaranku kini purna pekak dari rasa yang kau sebut cinta.
Sebab raga ini, sebab jiwa ini, sebab hati ini. . .
Ah, biarkan ku ukir alur hidupku tanpa goresan campur tanganmu.
Sebab ku tak lagi mau.
Biar ku lewati hari yang tersisa dengan senyum dan canda tanpa harus kau ikut di dalamnya.
Sungguh, tak perlu kau menangis sesedu sedan itu.
Tak perlu kau sabdakan cinta dengan mulut penuh busa.
Pun, tak perlu kau menyesalinya dan menjadi orang paling salah.
Perlu kau tau, aku begini bukan karena ku benci.
Tapi jangan pula kau mengira wajahku selamanya sebuah samudera, sebab kadang aku laikna api yang baru merasa merdeka dengan nyalanya bara.
Meski kadang aku masih sukar untuk belajar, saat fakta tak lagi bisa selaras dengan asa.
Saat Dia tak memberi apa yang aku ingini.
Tapi aku yakin TakdirNya lebih indah dari apa yang manusia reka.
Memang tak ada yang istimewa dengan kisahku.
Tapi aku patut bersyukur saat CintaNya mampu meretas semua lara.
Hidup bukan sekedar hitam atau putih, melainkan perpaduan gradasi pelangi.
Nanti, saat ku telah purna lupa dari duka lara kan ku tertawakan diri sendiri oleh sebab kebodohan dan kenaifan.
Dear Lelaki Tanpa Nama,
Ingin rasanya ku terus gerakkan tarian larik kata dari balik buku-buku jemariku.
Menuangkan kabar padamu.
Tapi rupanya mataku telah lelah untuk terus terpicing dan ujung pensilku pun kini tak lagi runcing.
Maka izinkan ku untuk terakhir kalinya mengucap salam takzim perpisahan.
Seperti ikrarku sejak hari itu: Tak akan pernah kubiarkan lagi ragaku mengejar Matahari. Tak akan!!
Terakhir, untuk kamu yang masih berdiri dan mengirim kata-kata dari balik lautan,
Dari mu aku belajar untuk intipan keberadaan lain,
Sungguh hanya sehela napas ringan. . .
0 comments:
Posting Komentar
Thanks for the comments, pals.
Follow me and Keep always in touch.