Orang bilang pesantren itu penjara suci.
Dan banyak juga yang menganggapnya pendidikan kuno.
Well, lemme tell ya!
It’s all awesome somehow.
Read my story through then.
Cekidot!
Selepas SMP, saya dibuang ke pesantren.
Seperti sudah tradisi di keluarga, semua kakak saya harus sekolah di luar kota.
Tak terkecuali saya.
Kata Bapak, “ayoh, cari ilmu di luar biar tambah pengalaman!”
Tapi kenapa juga mesti pesantren??
Kata beliau (lagi), “biar gak idup bebas, tau aturan agama dan mandiri!!”
Yeah, mungkin beliau khawatir melihat anaknya salah gaul.
Berhubung saya hidup masih bergantung orangtua, tak ada pilihan lain.
Bismillah, semua menjadi berkah.
Dan dimulailah kehidupan saya di pesantren.
Dari hari pertama saya masuk, saya udah nelangsa harus jauh dari orangtua.
Tidak ada satu orang pun yang saya kenal di pesantren.
Iri dengan teman2 akrab saya di SMP dulu yang melanjutkan sekolah di SMA.
Sementara saya??
Hidup di wilayah yang jauh dari peradaban.
Tanpa TV, tanpa Radio, tanpa hiburan.
Gak bisa liat acara MTV, serial Dawson’s Creek, request lagu di radio.
Aku manusia paling menderita!!! *lho?*
Tiap kali Bapak datang berkunjung hari jumat, saya kerap nangis.
*yeah, meski hanya nangis bawang sih*
Saya baru merasa sedikit betah setelah 6 bulan lamanya.
Itupun setelah melampaui berbagai deraan cobaan yang menyiksa bathin.
Tiap kali ada santri baru yang out karena tidak betah, hati saya pun tergoda.
Tapi saya tak pernah bener2 berani melakukannya.
Karena, entah mengapa, bayangan Bapak saya selalu hadir menenangkan.
Di pesantren. . .
Para santri dituntut mandiri dan bersosialisasi.
Tidur bersama 20 orang santri lainnya.
Berbagi makanan dengan teman sekamar.
Belajar bersama dengan suara riuh dan menggema.
Hidup di bawah kontrol bel yang memekakkan telinga.
Hidup yang serba harus antri.
Mau mandi antri, mau makan antri, bahkan buang hajat pun antri.
Hidup yang penuh aturan dan hukuman.
Telat ke masjid dihukum, gak ikut jamaah dihukum, nyolong mangga tetangga diuber orang sekampung.
*ya iyaalaaahh!*.
Saya sering dapat hukuman dari pengurus bagian pekerjaaan umum, karena saya selalu memakai sandal ke dalam kamar mandi.
Bukan bermaksud bandel, tapi menurut ilmu kesehatan yang saya tau, kalo ke kamar kecil mustinya memang harus pake alas kaki agar tidak ada kuman2 yang masuk lewat pori2 telapak kaki.
Aneh memang hukuman itu.
Akhirnya saya pun lebih rela telapak kaki saya dimasuki kuman, daripada dibantai pengurus.
Saya juga pernah dihukum pengurus bagian ta’lim gara2 datang sholat jamaah setelah adzan.
Yeah, bahkan datang setelah adzan berkumandang pun harus kena hukuman.
Padahal biasanya orang2 awam saja baru mau berangkat ke masjid setelah terdengar iqomah.
Para santri dituntut harus menguasai dua bahasa sekaligus: Arab dan Inggris.
Semua santri, tak terkecuali santri baru.
Seminggu Bahasa Arab, seminggu Bahasa Inggris.
Kalo ada yang menggunakan Bahasa Arab saat waktunya berbahasa Inggris atau sebaliknya, maka bersiaplah namanya dipanggil untuk menerima hadiah dari pengurus lari keliling lapangan bola sebanyak 10 putaran atau ngepel aspal. Hueeheheh. . .
Bahasa Inggris, bagi saya no problemo.
Kosa kata Inggris sudah banyak saya kantongi.
*maaf, bukan maksud sombong cuma pamer dikit. Hehehe.. sama deng yah!!*
Ternyata ada gunanya juga saya sering liat acara MTV dan film2 barat.
Bukan kebudayaan barat yang saya lihat, tapi saya tertarik dengan bahasanya.
Kalo dulu Bapak sering negur gak boleh liat film2 barat, kini beliau harus menyadari bahwa anak gadisnya jago debat ama bule. Aeeeehhhhh. . .
Lain Bahasa Inggris, lain pula Bahasa Arab.
Bisa dibilang Bahasa Arab saya nol bolong.
Kalo sekedar membaca Al Quran dengan tartil saya bisa.
Tapi kalo harus mampu berkomunikasi sehari2 dengan Bahasa Arab??
Nampaknya saya harus cuci otak dulu.
Sementara itu kemampuan Bahasa Arab saya, sebagai santri yang baru masuk saat kelas 1 Aliyah, harus bisa disetarakan dengan kemampuan santri lain yang sudah tinggal di pesantren sejak kelas 1 SMP.
Mungkin karena tuntutan keadaan juga (atau lebih karena gengsi terlihat bodoh di hadapan santriwan? Hehehe. .), saya selalu semangat untuk belajar.
Satu2nya bacaan favorit saya saat itu adalah Kamus (selain novel2 picisan juga tentunya :p).
Saya ingin bisa berbahasa Arab.
Saya harus tau nahwu dan shorofnya.
Saya harus tau artinya.
Tidak hanya sekedar bisa ngaji.
Siapa tau nanti punya suami seorang Ustadz, biar gak bikin malu.
Uooohh!! *ngarep*
Okeh, kembali masalah Bahasa Arab.
Masih inget saya pernah diejek adik2 kelas 3 SMP gara2 salah kosa kata.
Waktu itu saya sakit hati, dan terbersit doa:
“Ya Allah, jadikan kemampuan bahasa saya melebihi mereka dan nanti saya jadi pengurus bagian bahasa agar bisa menghukum orang2 yang menertawakan saya hari ini. Amin.”
Memang benar bahwa doa orang yang terdlolimi itu maqbul.
Dan voila, doa saya dikabulkan Allah.
Saat saya kelas 2, saya jadi wakil ketua pengurus bagian bahasa di organisasi.
Saya pun dapat kesempatan menghukum adik2 kelas yang pernah mengejek saya waktu itu.
Saya hukum mereka karena menggunakan Bahasa Arab di saat seharusnya menggunakan Bahasa Inggris.
Hahahaha. . .
Entah karena nama saya yang mudah diingat ato karena saya aktif (baca: BAWEL) di kelas, saya jadi dikenal para ustadz. Alhasil, tiap kali ada pertanyaan saya kerapkali jadi sasaran utama.
Tapi Alhamdulillah, Allah selalu pemurah.
Dia sering membisikkan jawabannya.
Kalaupun saya juga sering salah jawab, itu karena memang saya yang bodoh.
Kata orang, masa SMA itu masa2 romansa dengan lawan jenis.
Namun hal itu tidak berlaku bagi saya yang sekolah di pesantren.
Jangankan mikirin cowo, mikir pelajaran pondok saja otak saya sudah bebal.
Mata pelajaran yang semua bahasanya menggunakan Bahasa Arab.
Dan harus dipelajari dengan menghafal tiap hari.
Ilmu Mustholah Al Hadist, Muqaranatul Adyan, Fiqh, Ushul Fiqh, Tafsir, Balaghah, dan bla bla bla.
Belum lagi kegiatan ekstra yang menguras tenaga.
Muhadatsah tiap abis shubuh, Muhadloroh 2 kali seminggu, belum lagi pelajaran umum yang juga menuntut untuk diperhatikan.
Semua membuat saya mimisan.
Meski termasuk pesantren modern, tapi bangunannya masih sangat sederhana.
Bahkan ada salah satu bagunan yang bisa dibilang reot dan tidak layak huni.
Saya sempat menempati bangunan itu selama 6 bulan, namanya Dar Abu Bakar.
Bangunan yang penuh dengan tikus yang selalu gerilya di malam hari.
Bangunan yang kerap disinggahi kucing untuk buang hajat.
Bangunan yang kayunya menjadi tempat favorit bagi rayap, semut, dan serangga lain.
Lemari pakaian saya pernah jadi korban santapan semut hitam dan rayap itu.
Pernah pada suatu malam, saat semua lelap tidur, tepat di samping saya ada hewan sejenis kepiting dengan kedua sumpit yang siap menjapit.
Agaknya hewan itu masuk lewat lubang dinding karena tripleknya bolong.
Dan saya hampir jadi korban japitannya, kalo saja saya tidak bangun saat itu.
Di bangunan itu pula hampir tiap hari tercium kotoran kucing di bawah jendela.
Mungkin karena seringnya membau aroma tersebut, hidung saya tak lagi peka.
Ibu saya, yang saat itu mengunjungi, sampai menangis melihat kondisi kamar yang saya tempati. Tapi tumben, saat itu saya dengan bijak bilang: “gak apa2 biar nanti kalo harus idup susah dengan suami gak kaget lg”. *sumpah, saya aja yang ngomong gitu kaget :D*
Menu makan yang selalu ganti tiap hari.
Tiga kali sehari: pagi, siang, malam.
Dan menu favorit saya adalah PECEL.
Biasanya disajikan hari Jumat pagi setelah kerja bakti.
Saya selalu lahap.
Bagi saya pecel itu rasanya endang bambang kejang2!!
Setelah lulus dari sana, saya menyadari banyak hal.
Salah kalo orang bilang pesantren itu penjara.
Justru dari pesantren saya merasakan kehidupan yang sebenarnya.
Suka duka. Tangis tawa.
Meski tidak betah, tapi toh saya tetap bertahan sampai lulus dengan gemilang.
Bahkan saya tercatat sebagai satu2nya santriwati yang cuma sekali izin pulang.
Itupun karena sakit. Aneh, mengingat dari hati yang terdalam saya gak betah.
Pesantren. . .
Memberi saya banyak pengalaman, pelajaran, dan kesan.
Mengajarkan saya kesederhanaan, kebersahajaan, kekuatan, kesabaran, dan kebersamaan.
Menuntun saya untuk lebih mendalami agama yang saya yakini kebenarannya.
Saya bersyukur dibuang ke pesantren.
Setidaknya dengan mengenyam pendidikan di pesantren, bakat tengil saya sedikit terkikis. Hueeehehehehe ^_^
P. S.
- My beloved Father, terima kasih yang mendalam, telah memberikan pendidikan terbaiknya.
- Para Ustadz, semoga ilmu yang kalian ajarkan pada kami menjadi amal jariyah di hadapanNya. Salam takzim.
- To all my classmates in High School, I miss you, fellas!
0 comments:
Posting Komentar
Thanks for the comments, pals.
Follow me and Keep always in touch.