Senin, 21 Februari 2011

UNTITLED

Semua orang terlihat biasa. Sangat biasa.

Saat itu saya duduk di pinggir dermaga pelabuhan kota Gresik, dalam rangka melabuhkan kesedihan yang sedang saya alami.

Dengan 2 liter botol Pocari Sweat di tangan, saya tengok kanan tengok kiri kaya orang linglung. Hari itu pelabuhan tak begitu ramai. Kapal-kapal masih anteng terikat di dermaga. Saya perhatikan orang-orang di sekeliling. Ada bapak paro baya dengan wanita dan anak kecil yang baru saja keluar dari mobil. Sepertinya mereka satu keluarga. Ada mbak-mbak berkerudung yang lagi muter lagu kenceng banget dari HP-nya. Ada juga remaja cowo dengan kaos dan celana super ketat plus kacamata item dan poni nyulek mata. Sekilas dia lebih mirip Andhika Kangen Band. Saya ingin ngakak, tapi berhubung hati saya mendung saya hanya bisa tersenyum simpul.

Mereka terlihat biasa.

Padahal siapa tau satu keluarga itu baru saja bertengkar. Mbak berjilbab itu baru berhasil operasi kanker. Siapa tau, remaja cowo yang mirip vokalis Kangen Band itu baru saja kena razia kamtip. Who knows?? Tapi bagi saya, bagi orang yang melihat dari luar, mereka terlihat biasa.

Di mata mereka, saya juga pasti terlihat biasa.

Padahal baru kemarin saya mengalami broken heart.

Di dalam bentuk tubuh yang sama sekali gak seksoy ini, saya remuk redam ancur minah, hancur lebur, babak belur, compang camoing, kuda bunting. Tapi, sekali lagi, bagi orang luar yang melihat saya terlihat biasa. Karena apapun masalah yang sedang kita hadapi, sekompleks apapun masalah itu, orang lain akan tetap menjalani hidupnya, seolah tak bersimpati dengan masalah yang kita punya.

Saya masih duduk menikmati desiran angin dan gemericik air laut. Mengahafal nama-nama kapal di seberang sana. Ada Kartika Dharma dan Express Bahari yang bergoyang anggun mengikuti irama air laut di bawahnya.

Earphone dari HP memainkan lagu India Soni-Soni, soundtrack film Mohabbattein. Saya tidak tertarik dengan lagu-lagu Indonesia bertema cinta. Karena saat seperti ini, lagu bertema cinta hanya akan membuat saya garuk-garuki tanah kuburan.

Kembali saya mencoba meraba hati. Memaksa berpikir dengan apa yang sudah terjadi. Apa yang salah dengan hubungan jarak jauh yang sudah berjalan selama 2 tahun 8 bulan 7 hari yang akhirnya kandas di tengah jalan. Mengenaskan mengingat ini pertama kalinya saya menyayangi seseorang dan pertama kalinya juga kandas dengan sukses.

Tapi apa yang bisa saya perbuat, jika ini sudah jadi keputusannya. Mungkin di sinilah batas kemampuannya. Saya tak mau memaksakan kehendak. Meski hati berontak.

Lagu dari HP sudah berganti dengan Barakallah-nya Maher Zein. Lagu yang sempat saya rencanakan akan diputer di acara pernikahan saya nanti dengannya.

Pocari Sweat di botol sudah tandas separo.

Dengan mata benglkak seperti abis disengat tawon hutan, saya tarik napas dalam mencoba menikmati aroma laut. Say abaca lagi SMS dari Ayah Ibunya tadi pagi.

“Nak Osya, saat ini d rmh sdg genting. Pada nengis smw stlh bc sms dr Nak Osya. Trutma Ibu yg tak henti2nya menangis. Bpk sndri marah bsr dg anak Bpk. Geram skli” –Bapak-

“Nak Osya yg Ibu sayangi yg Ibu cintai ank kebanggaan Ibu, Ibu mndngr brita ini spt ada petir d siang bolong. Ibu bc sms dr Nak Osya smbl mngucurkan airmata. Ingn rasanya Ibu peluk dan cium Nak Osya skrg jg dan tak mw Ibu lepaskn. Maafkan tingkah laku anak Ibu ya, Nak. Ibu tw betapa hancurnya hati Nak Osya skrg. Ibu bs mradakannya, Sayang. Ibu doakn Nak Osya tdk putus asa dn mndpt pengganti yg pstinya lbh baik dr anak Ibu. Tp Ibu mohon, jgn pnh lupakan Ibu dn Ayah dsni yah. Jgn putuskan hubungn silaturahmi kita ya, Sayangku. Bagi Ibu, Nak Osya akn ttp jd anak Ibu yg ke-3 d hati Ibu.” –Ibu-

Tiba-tiba saja lagu di HP berhenti, HP memijit lembut. Ada SMS masuk. Dari Ayahnya.

“Sabar dlu ya Nak Osya. Ibu msh trs menangis smpe skrg. Apapun yg trjdi, brpisah atw tdknya, Bpk akn brgkt k Gresik. Tunggu kbr dr Bpk slnjtnya. Bpk dn Ibu msh tdk rela. Klopun hrs brpisah, Bpk ingn brtemu dlu dg Nak Osya sklwrg. Bapak saying Nak Osya”

Saat itu saya tak lagi mampu membalas SMS beliau.

Saya masih sibuk memikirkan kenangan masa silam. Saat dia ke Malang mememui saya dari Jogja dengan hanya mengendarai motor. Saat dia ke rumah menemui orang tua saya, yang meski sempat menginap tapi kita selalu didampingi Bapak saya. Saat saya dan Bapak diundang ke Jogja untuk menghadiri wisudanya di UGM. Saat itulah saya untuk pertama kalinya bertemu langsung dengan Ayah-Ibu serta Tetehnya. Saya dihujani peluk dan ciuman bertubi-tubi dari Ayah-Ibunya. Pertemuan yang kata Ibunya telah membuatnya jatuh hati. Entah apa yang membuat beliau jatuh hati pada gadis yang amat sangat biasa ini.

Semua kenangan itu seperti layar tancap yang digelar tepat di hadapan saya. Namun, pelan layar tancap itu meredup. Mungkin listriknya mati, atau kabelnya yang putus.

Masih terngiang di telinga, saat dia telepon tengah malam sambil sesenggukan menangis karena mimpi saya meninggalkannya dengan lelaki lain. Dia bilang, apapun yang terjadi dia akan tetap berusaha mempertahankan hubungan ini sampai menikah. Dia ingin memiliki istri seperti saya, yang katanya susah dicari di jaman seperti ini.

Tapi kini janji itu ia ingkari sendiri. Atau mungkin saya yang terlalu bodoh mempercayai janji itu. Karena Jumat malam itu, dia memutuskan untuk mundur. Alasannya dia jenuh dengan situasi yang seakan tak ada ujungnya. Dia tak mau saya menunggu terlalu lama untuk segera menikahi saya. Dia lebih rela melihat saya bahagia dengan orang lain daripada menunggunya tanpa kepastian. Dia juga berani menjamin bukan lantaran ada cewe lain di hatinya. Entahlah, apapun alasannya saya tak lagi peduli. Yang saya pahami, dia yang lebih dulu menyerah. Itu sudah cukup.

Sepulang dari pelabuhan siang itu, saya meyakinkan diri saya sendiri untuk tidak meratapi nasib. Saya yakin masalah ini tidak seberapa dan hanya akan bertahan sementara. Akan ada banyak kemungkinan baik bagi saya di depan. Saya tak mau terus larut dalam penyesalan. Saya berhak mengenyam bahagia.

Pelan bayangannya menjauh. Tapi Tuhan tak begitu. kasihNya masih kurasa meluap penuh. Saya yakin cintaNya mampu meretas semua lara.

Lagu di HP sudah berganti dengan lagu Maher Zein yang lain, Insya Allah.

Everytime you feel like you cannot go on

You feel so lost

That you’re so alone

All you see is night and darkness all around

You feel so helpless

You cannot see which way to go

Don’t despair and never loose hope

Cause Allah is always by your side

Insya Allah 3X. . .♫

Agaknya lagu ini banyak memberi kekuatan bagi saya.

Saya bersyukur Tuhan masih berkenan menjaga saya hingga kini.

Saya bersyukur tak pernah melanggar aturanNya.

Meski dalam status pacaran, kami masih tau batas. Kita mampu pegang komitmen No Touch before Marriage. Dia menjaga saya dari segala raba.

Malam harinya, saya habiskan waktu dengan ber-SMS ria bersama Ibu dan Tetehnya. Berkali-kali si Ibu bilang gak bisa berhenti menangis sampe matanya dikompres karena bengkak. Tetehnya pun berkali-kali minta maaf karena merasa gagal mendidik adik satu-satunya. Tanpa sadar, kembali saya nangis. Tapi segera saya hapus airmata itu. Saya mencoba bercanda dengan si Ibu. Saya bilang ke beliau, minta dicarikan pengganti anaknya. Hahaha. . . *tetep yeee!*.

Saat itu juga dia SMS:

“Aa mnt maaf bngt k osya. Aa trima klo osya marah. Tp Aa hrp hubungn qt msh baik spt biasa. Aa ingn bs jd sahabat t’baik osya. Osya msh mw kan? Rasa sayang Aa cinta Aa k osya tak akn pnh b’hnti smpe kpnpun. Aa doain osya dpt pengganti yg lbh dn lbh baik lg drpd Aa..”

Ungkapan sayang itu tak lagi berarti buat saya. Tapi meski sudah compang camping kaya lkambing bunting, saya tak ingin diliputi kebencian terhadapnya. Bagi saya tak ada guna, malah nambah dosa. Meski keputusannya sepihak, tapi saya harus menghormati keputusan itu. Saya akan tettap menjaga silaturahmi dengan keluarganya, seperti permintaan Ayah-Ibunya. Karena bagi saya, mereka lebih berharga. Biarlah, biar Tuhan yang akan menyembuhkan luka. Saya ingin belajar bersikap bijak. Saya ingin berguru pada moluska, yang mampu menyulap perihnya pasir jadi mutiara. Ya, saya ingin memiliki hati seperti mutiara, meski ragaku koyak moyak sudah *aduuuuhhh, maaf jadi sok puitis, pemirsah!*

Malam itu, seperti biasa, saya tutup dengan munajat panjang untuk menemuiNya, curhat padaNya, berkeluh kesah untuk yang kesekian kalinya. Meski sering saya lakukan, tapi saya yakin Dia tak akan pernah bosan mendengar curhatan hambaNya yang manis ini *aheem! hueehe*.

Rasanya terlalu picik jika harus terpuruk dengan masalah cinta yang bahkan belum halal. Saya baru menyadari hal itu kini. Satu lagi pelajran hidup buat saya.

Seiring dengan selesainya tulisan ini, akhirnya saya bisa tersenyum lagi setelah 2 hari lamanya kaya mayat yang baru bangkit dari kubur. Perpisahan memang menyakitkan. Tapi itulah hidup. Ada yang datang ada yang pergi. Ada yang melintas sekilas namun begitu membekas keras. Ada yang selalu berjalan beriringan namun tak disadari kehadirannya. Ada yang datang dan pergi begitu saja seolah tak pernha ada. Sekali lagi, itulah hidup. Segala serpih semesta adalah fana. Kini saatnya bagi saya untuk belajar mengikhlaskan semua yang telah terjadi. Bismillah, Dia pasti akan mengulurkan tanganNya.

Lagi-lagi lagu Maher Zein menemani. Kali ini lagu Open Your Eyes.

We just have to open our eyes, our hearts, and our minds

If we just look bright to see the signs

We can’t keep hiding from the truth

Let it take us by surprise

Take us in the best way, Allah

Guide us every single day, Allah

Keep us close to you

Until the end of time . . ♫