Selasa, 28 Juni 2011

Mengintip Kedai 1001 Mimpi


Desas-desus

“..Sepanjang tahun ada ratusan bayi lahir dari rahim seorang TKW.. Pelaku pemerkosaan seringkali tidak ditindak tegas karena kurang bukti dan sanksi. Kalau korban lapor, bisa jadi malah difitnah.” (Vabyo, 138).

“Jadi kalau di Indonesia berbuka puasa dengan yang manis-manis, di Saudi berbuka dengan berbuat najis.” (Vabyo, 216).

“Kenapa bila kita melawan orang yang sering membawa nama Allah kita sering dikira melawan Tuhan? Apa dengan begitu mereka merasa menjadi Tuhan?” (Vabyo, 228).

“Tau gak, saya dulu sering berharap neraka itu cuma hoax. Tapi melihat para pemerkosa dan penindas sesama yang kebal hokum, saya jadi berharap neraka benar-benar ada.” (Vabyo, 230).

“Aku menemukan ironi lain, kenapa kelakuan homo ini justru terasa paling edan di negara yang paling keras menghukum para pelaku homoseksualnya ini.” (Vabyo, 264).

“Bolehkah aku bertanya, kenapa di sini aku sering menemukan manusia dengan nama islami tapi kelakuan biadab?” (Vabyo, 300).

“Gue kadang ngerasa di sini orang-orang lebih hobi saling nuduh kafir dibanding mempertebal iman masing-masing.” (Vabyo, 400).

“Datang ke Saudi itu harus siap diperkosa. Baik jiwa atau raga.” (Vabyo, 417).

“Menteri Tenaga Kerja Saudi, Ghazi Al Gosaibi, mengeluarkan statement menghebohkan: Saudis are arrogant and racist.” (Vabyo, 423).

“Maaf, tapi di negara miskin saya itu, saya lebih banyak tersenyum. Tak terbeli dengan ribuan riyal. Lagi pula, semua kebusukan negara saya, Indonesia, ada di negara lain kok. Tapi keindahan Indonesia belum tentu dimiliki negara lain.” (Vabyo, 426).
*****


Akhirnya saya miliki buku ini, Kedai 1001 Mimpi.

Sebuah buku setebal 444 halaman yang mengungkap kisah nyata Valiant Budi Yogi a.ka. Vabyo, seorang penulis yang “sengaja” menjadi TKI di Arab Saudi.

Agak “aneh” mengingat Bang Valiant adalah seorang lulusan hukum Universitas Padjadjaran yang mengawali kariernya sebagai penyiar, web designer, editor, creative director, penulis, dan akhirnya terjun bebas jadi TKI.

Keinginannya yang menggebu untuk bisa bekerja dan tinggal di luar negeri, khususnya negara-negara Timur Tengah, mendorongnya untuk menjalani walk in interview saat ada iklan lowongan kerja di sebuah kedai kopi internasional bertempat di Kingdom of Saudi Arabia.

Tujuannya tak sekedar mencari pengalaman, tapi lebih dari itu dia ingin membuktikan sendiri rasanya menjadi TKI dan menuliskan pengalamannya dalam sebuah buku. 
Sebuah langkah yang kelewat nekat dan “gila”, menurut saya.

Sebelum buku ini dilaunch bulan Mei, selama masih menjadi TKI, Bang Valiant selalu menuliskan kisah sehari-harinya di Saudi lewat blog pribadi dan akun twitternya yang berjudul Arabia Undercover

Saat itu dia beberapa kali mendapat komentar memojokkan dari beberapa pihak di blognya. 
Banyak yang menuduhnya telah melakukan fitnah terhadap islam karena ia secara terang-terangan membongkar kebusukan sebuah negara dimana islam lahir di sana. 
Agak miris, mengapa yang dihujat justru yang membongkar kebenaran?!

Pada saat kasus pancung Ruyati, TKW asal Jawa Barat, tersiar di media, Bang Valiant diundang sebagai nara sumber dalam acara Apa Kabar Indonesia (AKI) Pagi di TVOne. 
Dan di sanalah dia menceritakan semua kisah suka dukanya menjadi TKI. Pengalaman berharga yang katanya tak akan pernah ia dapatkan di Universitas manapun.

Dia menjadi barista (bartender khusus kopi) di sebuah kedai kopi bernama Sky Rabbit Coffeeshop di kota Al Khobar. Awalnya dia optimis akan mempertebal keimanannya selama bekerja di negara lahirnya islam tersebut. Tapi yang didapat justru sebaliknya, ia kerap menemukan keganjilan dari orang-orang Arab yang ia jumpai sehari-hari.

Mulai dari atasannya yang semena-mena maen perintah dan yang lebih membuat darahnya mendidih saat dia dilarang menunaikan sholat jumat untuk membersihkan ruangan kafe. 
Asisten managernya yang suka menggelapkan uang hasil penjualan kafe, menyiksa mentalnya sebagai orang jujur dengan memberi ultimatum untuk tetap memakai susu basi dengan alasan bahan baku cappuccino latte mahal, tissue bekas untuk dipakai kembali, dan gelas plastik yang seharusnya hanya untuk sekali pakai dimintanya untuk dicuci dan dipakai lagi. Rekan kerjanya yang hobi menyelipkan kotoran idung a.k.a upil ke dalam muffin dan ludah ke dalam minuman. Hueks!!

Seakan belum puas dengan keganjilan orang-orang di tempat kerjanya, Bang Valiant harus mengalami trauma yang cukup dahsyat sebagai seorang lelaki normal saat dia beberapa kali hampir menjadi korban perkosaan para om-om berbulu yang notabene homo. Kenyataan yang membuatnya berkesimpulan, tidak hanya TKW yang menjadi korban perkosaan, TKI laki pun punya kesempatan yang sama.

Dia harus ekstra sabar menghadapi para pelanggan coffeeshop-nya yang masyghul, mulai dari yang punya hobi mamerin alat kelaminnya, yang kaya raya dengan laptop super canggih tapi gak bisa mengoperasikannya, yang gayanya sok kebarat-baratan, yang suka masturbasi di toilet saking baru liat cewe di luar. 

Belum lagi berurusan dengan Muttawa a.k.a polisi syari’ah yang menuduuhnya kafir hanya gara-gara namanya yang tidak islami.

Bahkan seringkali para polisi syari'ah menerapkan aturan yang tidak proporsional, tidak melihat kondisi yang ada.

Sebuah kisah memilukan tercatat pada tahun 2002 di sebuah sekolah khusus perempuan di kota Mekah.
Saat itu tiba-tiba ada kebakaran. Sekitar 800 murid berhamburan ke luar asrama.
Saking panik dan terburu-buru, mereka tidak sempat memakai abaya dan cadarnya.
Mengetahui hal ini, para polisi syari'ah memaksa mereka kembali masuk gedung untuk memakai abaya dan cadarnya! Bahkan ada polisi yang memukul salah satu siswi yang memaksa keluar gedung tanpa cadar.
Tragedi ini berakhir sangat tragis. Belasan siswi tewas terpanggang di dalam gedung, sebelum mereka sempat keluar lagi dari gedung untuk menyelamatkan diri.

Gak habis pikir, apa yang ada di otak polisi itu?
"Kalau yakin jadi pewaris surga, kenapa memperlakukan orang seperti anjing neraka, ya?"
Kalau di Indonesia kita lihat para wanita pekerja seks komersial berpakaian minim, di Arab lebih miris lihatnya. Bagaimana tidak, gadis baik-baik dan wanita jalang tak ada bedanya, sama-sama memakai abaya dan cadar. Biasanya mereka beroperasi di kafe-kafe dalam ruangan yang sejatinya hanya dibuat khusus untuk family section dengan cara menyamarkan identitas sebagai suami istri sah. Dibalik cadarnya, para wanita Arab tetap berdandan menor dan pakaian minim yang biasanya mereka sibak saat sudah berada di bilik kafe. Hukum rajam dan peraturan yang mengharuskan memakai abaya hitam+cadar tak lantas bisa memberantas praktek pelacuran.

Tak heran kalau orang baik-baik pun bisa saja terpaksa harus menjadi budak pemuas nafsu para baba atau menjadi penari tiang di kalangan homo.

Sebuah ironi yang membuat mata hati seorang Valiant menangis saking tidak relanya nama islam harus rusak justru karena ulah pemeluknya. Dan lebih ironi lagi saat dia menuliskan kisahnya, justru ia dianggap memfitnah islam.

Sebuah buku yang bikin campur aduk. 
Miris dengan realita yang ada. 
Ngakak dengan segala kelucuan yang keceplosan. 

Dan nangis di beberapa paragraph, seperti saat Bang Valiant dikutuk masuk neraka karena membela dan memeluk seorang anak perempuan tujuh tahun-an yang ditampar dan dijambak oleh ayahnya. 
Dengan spontan dia balik mengutuk si ayah garang tersebut, “Why are you treating her like an animal, even an animal has right to be loved!” 
Sungguh pemandangan yang mengiris hati!
Kalau Bang Valiant yang cowo aja bisa nangis, apalagi saya. Hiks T.T

Ingin marah saat ada seorang om-om gundul bermuka masyghul yang dengan pongah menceritakan hobinya kawin wisata di puncak Bogor Indonesia hanya untuk memenuhi libido bejatnya. 
Hingga Bang Valiant nyaris baku hantam dengan om-om tersebut dengan makian tajamnya, “Dengan segala hormat. Bisa anda bayangkan, puluhan juta jiwa warga negara Indonesia datang ke Saudi untuk mensucikan hati. Dan anda datang ke Indonesia cuma buat menganiaya para wanita kami?!”

Juga terharu saat dia beberapa kali ditolong oleh seorang Imam Masjid, seandainya semua orang Saudi sesantun Imam Masjid itu. Dan nasihat dari Sang Imam yang masih dia ingat betul dalam benaknya, “..Dulu islam terkenal dengan para ilmuwan dan penemuannya, sekarang lebih sering disebut dalam berita terorisme, dan kelakuan bejat sebangsanya. Rasul SAW pernah bilang, islam memang dimulai dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awalnya.”

Pada akhirnya saya salut dengan langkah yang ditempuh Bang Valiant. Setelah kembali ke tanah air, dia mengirim email dan melaporkan segala bentuk praktek manipulatif yang terjadi di tempat kerjanya, Sky Rabbit Coffeeshop, -mulai dari pemalsuan laporan keuangan, penggunaan susu basi, gelas plastik dan tissue bekas-, kepada pihak yang paling berwajib, yakni ke kantor pusat Sky Rabbit Coffeeshop yang berada di New York, Amerika. Hingga akhirnya kasus di coffeeshop tersebut diselidiki dan para pelakunya ditindak tegas.

Dan lagi-lagi saya salut dengan keberaniannya membongkar semua kisahnya melalui buku yang ia tulis ini.
Saya sudah baca buku ini 3 kali, dan sensasi bikin nangis masih saja datang kala membacanya. 

Bang Valiant sampe bilang di twitternya, “Ya ampun, kamu hebat sampe baca 3X. Makasi banyak, osya!”
Dan saya bales, “Tak ada yang lebih hebat selain berani melawan tirani dengan membongkar kebusukan lewat tulisan seperti Kakak!”

Nampaknya, daftar penulis favorit saya nambah lagi. 
Ah, saya memang terlalu mudah jatuh cinta dengan seorang penulis seperti dia!!
Dan buku ini patut dibaca, khususnya bagi orang-orang yang keukeuh ingin jadi TKI/TKW. 
Bang Valiant pernah bilang, alangkah baiknya jika para TKI/TKW dibekali ilmu bela diri. 
Cukup masuk akal mengingat bahaya yang selalu mengintai para saudara kita di sana.

 ---> (sok) malu!!


 ---> pasang muka (sok) manis, padahal abis nangis T.T










Di akhir tulisan ini, saya ingin mengutip sebuah pesan dari Rosulullah Muhammad SAW, seperti juga dikutip oleh Bang Valiant di halaman terakhir tulisannya:

Message from Heaven

All mankind is from from Adam dan Eve, an Arab has no superiority over a non-Arab nor a non-Arab has any superiority over an Arab; also a white has no superiority over black nor a black has any superiority over white except by piety and good action. (The Prophet Muhammad’s Last Sermon)

Jumat, 24 Juni 2011

CERITA SEHARI

Kamis, 23 Juni 2011.

Hari itu adalah agenda saya ngider kota Malang. Saya sudah membayangkan akan pulang malam (lagi).
Diantara agenda saya hari itu adalah menjenguk Teh Aan Yuhaniz, salah satu kakak kelas saya di Sastra Inggris UIN Malang, dan menemui Ustadz Erryk di kampus.

Pagi-pagi saya berangkat dengan kendaraan andalan, Angkot.
Butuh waktu hampir sejam untuk sampai ke kampus UIN dari Arjosari.
Beruntung Bapak sopir adalah seorang lelaki -mungkin usianya saya perkirakan masih 30an- yang baik hati dan halus tutur katanya. Bagaimana tidak, saat saya naik dia sudah menyambut dengan sapaan super lembut, "silahkan, Mbak." Begitu pula saat saya turun, tak lupa dengan nada yang enak didengar dia bilang, "hati-hati ya, Mbak!" dengan sumringah di wajahnya.

Ah, andai saja semua sopir seramah dan selembut dia.
Saya serahkan uang dan tak lupa bilang, "terima kasih, Bapak!"
Lalu sebelum dia pergi, "eh, Bapak..semoga hari ini berkah untuk Bapak. Makasi."
Dan saya langsung balik badan tanpa menunggunya mengucap sepatah kata pun.
Entahlah, mungkin saya agak berlebihan atau apa, tapi sepertinya saya telah "jatuh cinta" dengan keramahan Bapak sopir itu. Mungkin. Karena keramahannya, saya jadi semangat memulai aktivitas. Saya optimis hari ini akan penuh berkah, seperti doa saya pada Bapak sopir baik hati.

Agenda pertama saya sebenarnya ingin menemui Ustadz Erryk, tapi rupanya beliau masih sibuk hingga kami memutuskan untuk bertemu sore harinya. Akhirnya agenda kedua siap dijalankan: menjenguk Teh Aan.

Sebelumnya saya ingin menyiapkan sesuatu untuknya.
Teringat si Teteh pernah bilang si SMS, "Sya, teteh pengen dong baca tulisan-tulisan Osya!"
Sayangnya saya gak bawa buku kumpulan tulisan itu.
Apa boleh buat, berbekal data di flash disk yang saya bawa saat itu saya ada ide buat cetak sendiri beberapa tulisan saya yang layak "dikonsumsi" dalam bentuk buku mini.
Untunglah ada rental komputer yang siap melayani. Habis gelap terbitlah petromax.
Agak GR juga sih, ternyata tulisan penulis amatir juga masih ada yang mau baca. Hehe.

Jam 10 saya dan dua orang kakak kelas, yang sebelumnya sudah bikin janji, capcus ke Gondanglegi dengan bermotor ria. Setelah nyasar ke sana ke sini, dan tanya ke sana kemari, akhirnya sampai juga di tempat tujuan.

Kita bertiga disambut seorang lelaki, yang ternyata adalah suami si teteh.

Saya lihat Teteh tergolek lemah di tempat tidurnya.
"Eh, osya akhirnya datang juga! Ayo masuk, de." katanya dengan senyum penuh di wajahnya.
Mata saya udah berkaca-kaca pengen nangis, tapi sekuat tenaga nahan.

Teteh yang cantik, anggun, halus tuturnya khas orang Sunda, seorang wanita penghapal Al Quran, Musyrifah pertama yang saya kenal sewaktu masih di asrama UIN, yang dulu sering ketok pintu kamar saya untuk sholat jamaah di masjid. Dan sekarang dia hanya bisa beraktifitas di tempat tidurnya, dengan tubuh kurus karena TBC tulang hingga membuat sebagian tubuhnya lumpuh dari punggung hingga kaki.

Dia cerita sudah hampir dikira meninggal karena lama gak sadarkan diri di RS.
Sekarang perkembangannya sudah lumayan. Kaki kanannya sudah bisa di gerakkan dengan leluasa, meski masih harus menjalani terapi secara berkala. Tapi meki sakit separah itu, saya tak membaca keluh di matanya.
Sepanjang siang itu hanya ada keceriaan dan canda tawa. Saya yang sejak liat dia udah pengen nangis malah urung.

Dan suaminya, Mas Afif, subhanallah begitu menarik hati saya.
Seorang suami yang biasanya minta dilayani sang istri, tapi dia menunjukkan kesetiaan dan baktinya untuk merawat istrinya yang sakit dengan penuh ketelatenan dan keikhlasan tanpa sedikitpun keluh, sebab yang ada hanya cinta tulus di matanya. Saat si Teteh ingin pindah posisi miring, sang suami, di depan mata saya sendiri, menggendong dan memindahkan posisi istrinya. Adegan yang selama ini hanya bisa sya lihat di sinetron-sinetron, saat itu nyata ada di hadapan saya. Tanpa sepengetahuan Teteh, saya meneteskan airmata.

Agaknya Mas Afif memang type orang yang full-senyum dan doyan guyon.
Saya yang baru hari itu kenal, berasa udah kenal lama.
Dia cerita ngalor ngidul gak ada khatamnya sampe kita bertiga dibuat lupa untuk pulang.
Saya ingat masih ada janji bertemu Ustadz Erryk di kampus jam 3.
Setelah menyantap rujak yang super pedes dan es degan, kita bertiga pamit pulang.
Ya, kita memang tamu gak bener. Abis makan langsung pulang.
Mustinya mah totalan dulu trus cuci sendiri piring dan gelasnya. Hehe.

Saya cium kedua pipi dan kening Teteh, terbersit dalam hati, "Ya Allah Ya Rabb, bebaskanlah Teteh dari rasa sakitnya. Sembuhkanlah dia. Gantilah dengan pahala atas keikhlasannya, dan berkahilah rumah tangganya." Siang itu kita bertiga pamit dengan menyimpan harapan untuk kesembuhan teman dan sodara kami, Teh Aan Yuhaniz.

Satu agenda saya hari itu terpenuhi. Dan satu agenda lagi siap menyambut, bertemu Ustadz Erryk.
Untuk mengejar waktu, saya minta motor dikebut. Inilah nasib orang yang gak bisa naek motor, bisanya cuma minta. Ternyata Gondanglegi-UIN itu lumayan jauh. Punggung saya encok mendadak. Cape kelamaan pergi-pulang duduk miring di motor. Maklum saya pake rok. Manggul ransel berat pula.

Sampe kampus saya udah pesimis gak bisa ketemu Ustadz Erryk.
Saya tau beliau kalau sore sibuk ngajar di PKPBA. Setelah saling tunggu, akhirnya kita bisa ketemu dan sempat ngobrol meski cuma sebentar. Padahal saat itu beliau sudah dalam perjalanan mau pulang ke kontrakan. Saya jadi malu merepotkan beliau saat itu. Huhu.

Semua agenda saya hari itu terpenuhi. Hati senang, pikiran tenang, jalan serasa melayang *lho?*

Abis Maghrib, saya naek angkot (lagi) untuk pulang.
Gak ada penumpang cowo bikin saya gak perlu jaim.
Duduk sambil kaki selonjoran ke depan di bawah jok tempat duduk.
Hanya ada 2 Ibu-ibu dan Mbak-mbak mahasisiwi dengan barang bawaan menggunung.
Dia lagi mau ke semarang katanya dan bilang ke pak sopir, "Pak, bisa tancap gas gak? Saya lagi keburu ngejar bus jam 7!" Sopir pun tancap gas sesuai perintah. Saya udah ketar-ketir. Takut nyungsep.

Dua Ibu-ibu sudah turun, tinggal saya berdua dengan si Mbak yang barang bawaanya banyak tadi.
Saya berkali-kali melongok keluar, kok jalan arah ke Polowijen gak nongol-nongol ya?
Ini jalannya yang berubah atau mata saya yang emang makin silindris?
Tau-tau angkot udah nyampe di depan peron Arjosari aja loooooohhh!!
Lha? Polowijen udah kelewat 1 Km dong kalo gitu??
Saya protes, "Pak, kok tadi gak lewat Polowijen?"
Si sopir sambil mukanya gak beralih dari ngitung duit di tangan, dengan galak bilang, "udah lewat dari tadi kaleee, Mbak!"

Ya Allah, galaknyooooo!! Gak usah pake nyolot napah, Pak??
Saya turun angkot kaya orang linglung. Masa iya sih tadi saya meleng liatnya?
Tapi perasaan saya yakin angkot gak lewat Polowijen.
Ada curiga di hati, jangan-jangan si sopir motong jalan biar cepet nyampe terminal Arjosari karena si Mbak yang lagi ngejar bus tadi. Sambil jalan keluar terminal saya mikir, ini enaknya minta jemput atau naek angkot lagi ya? Bisa aja sih jalan kaki 1 Km, tapi abis itu kaki saya pasti bakal keriting sampe rumah. Akhirnya saya putuskan untuk minta jemput.

Sampe rumah kakak dengan selamat sentosa sejahtera.
Sebelum merem, saya inget-inget lagi kejadian yang saya alami seharian itu.
Saya seneng bisa memenuhi janji dengan Ustadz Erryk.
Saya juga bersyukur bisa bertemu Teh Aan.
Pertemuan yang membuat saya merenung, betapa hidup itu penuh perjuangan bagi tipa-tiap hamba.
Dan betapa kita, yang masih diberi nikmat sehat, kadang masih sering lupa untuk mensyukurinya.
Dari Teh Aan, saya malu ama diri sendiri. Kalau Teteh yang sakit aja bisa setabah itu, kenapa saya yang cuma punya masalah seuprit harus banyak ngeluh.

Tuhan itu emang Maha Adil, saya yakin Dia kasi cobaan sakit itu ke Teteh karena Dia Maha Tahu kualitas iman hambaNya. Dia Tahu teteh pasti bisa melewatinya dengan sabar dan ikhlas. Cobaan yang belum tentu akan mampu dilewati dengan sukses oleh manusia seperti osya. Saya cukup senang bisa bikin dia tersenyum saat dia terima buku catatan dari saya.

Tiba-tiba saja saya teringat sesuatu, "bentar deh..saya tadi pulang udah bayar angkot belum yah?"
Saya check kantong ransel depan. Eh, bener lho uang yang saya siapin buat bayar angkot masih ada!
Dari suasana yang masih kebawa mellow karena keinget Teteh, saya langsung heboh sendiri di kamar.
Hadoooh, dosa gak yah gak bayar angkot?? Tapi beneran lupa!!

Tadi berangkat disponsori oleh Bapak sopir baik hati nan lemah lembut, eh pulangnya dihantui sama Bapak sopir galak nan nyolot. Saya mencoba menghibur hati. Mungkin Allah sengaja bikin saya lupa bayar dan si sopir pun dibikin lupa untuk nagih, karena Dia gak rela saya digalakin ama si sopir itu. Uang yang sejatinya menjadi rezeki Pak sopir yang galak itu, pada akhirnya tetap jadi rezeki saya. Atau mungkin Allah kasian karena saya gak dianterin ke tempat tujuan (malah kelewat dari tempat tujuan)? Wallahu A'lam.

Semoga tidak terhitung dosa karena emang saya lupa.
Tapi saya masih berharap bisa dipertemukan lagi dengan Bapak sopir itu dan menyerahkan uang angkot. Entah kapan. Meski saya sendiri tidak begitu yakin apa masih dengan wajahnya.


P.S.
Bagi teman-teman baik yang merasa kenal maupun tidak, saya minta doanya untuk kesembuhan teman sekaligus sodara saya, Teh Aan Yuhaniz. Doa dari antum sekalian Insya Allah terkabul. Amin. Terima kasih.

Selasa, 21 Juni 2011

MTD 2011: Ustadz Erryk, Tiga Cewe Tangguh, Saya dan Lelaki Angkot Sakit Jiwa


Akhirnya ketemuan juga!! Setelah berbulan2 merencanakan, niat tulus itu tercapai *iyeiy emang lebay*.

Sebelumnya saya tak pernah begitu akrab dengan mereka.

Himmatul Hasna Ardhiana. Saya mengenalnya pertama kali saat kami satu kelas di semester pertama. Kelas E. Tidak mengenal secara dekat memang, hanya saling menyapa jika berjumpa. Saat semester lima ternyata kita sekelas lagi, mengambil konsentrasi sastra. Tapi itupun tak mendekatkan kita. Mungkin karna kita sama2 pendiem *ehhemm*. Dia paling imut diantara kita berempat. Jadi tidak heran kalau tiba2 ada yang tanya ke dia, “Dik, SMP kelas berapa?” karena saking imutnya kaya marmot. Hueehheee

Dewi Faricha. Cewe yang pernah memaksa saya masuk perpustakaan dengan berbagai cara. Saat itu kartu mahasiswa saya dipenjem oleh temen, dan dia dengan penuh keyakinan menyuruh saya pinjem kartu salah satu temen cowo –Sunu Farid Lathif (baca: Suneo)- untuk bisa masuk perpustakaan. Awalnya saya pun yakin semua akan baik2 saja, tapi ternyata penjaga perpustakaan bukanlah penderita rabun sehingga bisa membaca identitas kartu tersebut di layar computer. Saya dan Suneo kena blacklist. Matilah saya dan Dewi pengen saya getok saat itu. Haha. Setelah lulus saya berkesempatan untuk membalas dendam. Dia saya paksa ikut program TOEFL di Unibraw. Ternyata benar dugaan saya, anak ini paling mudah dirayu. Dan jadilah kami partner di kelas TOEFL selama sebulan. Uooohhh! Meski termasuk anak yang baik hati, tapi rupanya kalau saya jorokin ke selokan dia ngamuk juga *ya iyalaaah*.

Winda Vikriana. Sama halnya seperti Himma, Winda adalah temen sekelas saya di semester pertama. Hampir tak ada hal yang saya tau tentangnya selain tubuh jangkungnya yang bikin saya iri. Mungkin seharusnya dia sekolah modeling daripada mengambil fakultas Sastra Inggris *yang bernama Winda  jangan GR!*. Baru beberapa bulan terakhir ini kita akrab dan saling curhat. Ternyata dia cukup asik untuk dijadikan objek pembantaian secara verbal. Hahaha *Piss ah ^0^v

Lalu, gerangan apa yang membuat kita berempat akrab? Jawabannya adalaaaahhh *gaya Fitrop*: PACEBOK! Ya, pacebok telah menyatukan hati kita yang terserak. Huwwoouuwww!!
Saking dekatnya, saya punya panggilan khusus untuk mereka:

Himma ---> Jenong
Dewi ---> Bekel
Winda ---> Windot Surodot

Jumat lalu, tepatnya tanggal 20 Mei 2011, kita berempat bertemu di kampus. Nostalgia kuliah. Agenda kita saat itu menjumpai Ust. Erryk in face setelah sebelumnya kita bersahabat di facebook. Kalau kata orang sunda mah kopdar alias kopi darat. Mungkin lain kali lahir istilah teh darat atau susu darat?! Who knows??
Ust. Erryk yang kata Windot, “gile, ini Ustadz kharismatik banget yak!”. Dan memang beliau lebih jamil dari fotonya. Aihh! Hehehe *punten, Ustadz :p*. Kalau sebelumnya ekspektasi saya tentang beliau adalah seorang Ustadz yang nakutin, setelah bertemu dan ngobrol langsung ternyata beliau lebih open-minded dari yang saya kira. And I can say, nice to know you, Ustadz! InsyAllah lain kali kita bisa ngobrol lebih seru dan lama dari kemarin.

Setelah kopdar dengan Ust. Erryk, kami jalankan rencana awal. Nyetrika jalan Ijen dalam rangka meramaikan pameran Malang Tempo Doeloe (MTD). Setelah sholat Maghrib, kita meluncur ke TKP dengan transport andalan: ANGKOT. Benar saja jalan Ijen tak ubahnya pasar kaget di malam hari. Sepanjang jalan hanyalah lautan manusia. Laki-perempuan, tua-muda, lokal-bule, dari yang kulit putih sampe gigi kuning *eh?*.  Semua berjubel sampai nyaris tak ada ruang buat kentut.

Ada yang jualan barang2 antik, baju batik, handicraft, bahkan makanan khas. Anehnya ada penjual kerak telor. Bikin saya bertanya2, ini saya sedang di Malang Tempo Doeloe atau Pekan Raya Jakarta?? Ada juga yang jual poster pahlawan2 nasional, termasuk proklamator kita Sukarno. Saat itu di belakang saya ada tiga cowo gondrong bilang dengan heboh sampe muncrat, “sumpah istri Sukarno yang dari Jepang itu cuantike puooolll, rek!” Medok kali kau, Mas! Saya dan Jenong cuma senyum2 najong.

Windot yang beberapa kali didorong oleh para remaja alay, balik dorong dengan sadis. Ternyata dia punya bakat preman. Hohoho. Saya dan Bekel sendiri berulang kali disuguhi pemandangan peluk2an cowo-cewe, entah pasangan legal atau bukan. Windot yang juga melihat ini langsung berdoa dengan tangan menengadah, “Ya Allah, mudah2an MTD taon depan kita berempat bis ke sini dengan suami masing2”, kita bertiga mengamini dan langsung sholat hajat di tempat *ya enggaklaaah!* hehehe.

Di setiap kesempatan kita selalu foto. Terutama si Bekel yang di luar dugaan saya ternyata seorang Magifo (Manusia Gila Foto). Depan prasasti UIN, minta difoto. Di samping pemain gamelan, minta difoto. Makan gulali, minta difoto. Giliran kecapean aja, dia minta dipijit.

Makin malem suasana makin rame. Dan kita makin sulit bergerak. Karna takut ilang, kita saling pegang kuping, eh tangan. Bahkan ada gerombolan remaja yang sengaja bikin barisan kereta dari depan ke belakang. Pengen tiba2 gabung ama mereka tapi takut dikira saraph, akhirnya urung. Beragam type dandanan kita temui. Ada cewe yang agaknya kerepotan jalan karna memakai high-heels. Bisa dipastikan sampe rumah betisnya jadi segede bage. Ada pria tambun yang pake kostum kodok dengan kamera menggantung di pundaknya. Entah photographer entah komedian. Ada pula serombongan pria berkostum batik dengan kacamata item. Mungkin korban fashionista *fashion yang bikin orang nista*. Kita berempat jadi kritikus mode dadakan saat itu.

Malam makin larut dan dingin udara Malang menciptakan romansa tersendiri *tsaah!*. Sebelum berpisah jalan kita masih sempat foto di pos polisi Ijen.  Pak polisi yang saat itu jaga terus saja perhatiin kita. Mungkin pengen ikut foto atau mungkin naksir dengan salah satu diantara kita untuk dijadikan menantunya =_=
Saya saat itu yang paling resah gelisah gelora di jiwa, bingung musti cari angkot ke arah mana karna jalur angkot saat itu ditutup. Antara ragu dan masih kangen, dengan berat hati saya pamit lebih dulu meninggalkan mereka bertiga. Ada rasa pengen ditemenin nyari angkot, tapi gak enak nyusahin toh mereka juga musti pulang. Setidaknya Jenong udah kasih petunjuk ke arah mana saya harus melangkah jalan. Setelah cipika-cipiki, saya capcus pergi.

Saya susuri jalan hingga melewati Mall Olympic Garden (MOG), tapi angkot jurusan Arjosari tak kunjung melintas. Ada tiga kali saya berhenti untuk tanya ke polisi, jawabannya selalu sama, “Wah, masih jauh, dik!” Terakhir kali ada polisi di stop-an lampu merah saya samperin dengan pertanyaan serupa, dia jawab, “ini ada angkot AT di sini tapi biasanya lama. jalan terus aja dik, nanti di ujung jalan ini ada perempatan ke arah timur ada AL.” Saya yang buta arah, tanya lagi, “Timur itu mana ya, Pak?” Gubrak!!

Tak kunjung nemui angkot jurusan Arjosari, saya semakin kalut. Saya tak pernah selarut ini malam2 keliaran di jalan, sendirian pula. Mau menghubungi Kakak, baru sadar HP saya mati karna low-bat. Saking kalutnya hampir dicium mobil gara2 jalan ke arah tengah. Kendaraan yang ada di belakang ikut2an klakson. Huhuhu.
Dengan sisa harapan yang ada, di dekat perempatan jalan Basuki Rahmat, seorang Bapak Tua tukang parkir memberi saya petunjuk arah sampe bantuin nyegat angot GA. Yak, saya jalan kaki dari jalan Ijen hampir sejam dan baru nemu angkot jurusan Arjosari dekat Rumah Sakit Syaiful Anwar dengan bantuan Bapak Tua baik hati. Mungkin beliau kasian melihat saya.

Angkot yang saya naiki sepi, hanya ada saya, sopir angkot yang rambutnya gondrong dan celana sobek2, dan seorang lelaki di samping sopir (mungkin asistennya). Saya duduk di belakang sopir dengan agak was-was. Perasaan saya gak enak. Saya cewe sendiri di angkot itu.

Untung tak dapat diraih, Malang deket Kediri. Tiba2 ada seorang lelaki bertopi turun dari angkot di depan pindah masuk ke angkot saya. Lelaki ini, tatapan matanya begitu nyalang dan terus memperhatikan saya. Dalam hati saya mengoreksi diri, “Ya Allah, apa yang lelaki ini lihat dari saya? Badan sama seklai gak seksi, wajah juga gak cantik. Baju saya kah? Baju saya panjang, sama sekali gak ketat, berjilbab.  Pake rok pula!” Sambil menyedot rokoknya dalam2, jakunnya naik-turun. Tanpa diduga, dia malah duduk mendekat dengan kepala dia julurkan tepat di hadapan saya. Saya refleks menggeser duduk menjauhi dia. Masang tampang galak, padahal tangan udah gemetaran. Saya berharap si sopir dan asistennya lihat, tapi entah geblek entah emang gak tau mereka diem aja.

Di tengah ketakutan itu, otak saya sudah mikir yang macem2. Kalau sampe lelaki sakit jiwa ini berani sentuh saya sedikit aja, saya sudah siap ambil ancang2 pake jurus beladiri: gampar telinganya sampe gendangnya pecah, tonjok jakunnya sampe pindah posisi, atau tendang selangkangannya sampe mejret. Lagi2 tatapannya mampir menyelidik dan saya pengen jerit. Sholawat tak henti saya baca. Hingga akhirnya ada penumpang lain naik, seorang lelaki yang sepertinya macem ikhwan gitu dengan jenggot tipis menjuntai *gak bolah liat lelaki berjenggot dikit pasti bilangnya ikhwan. huhu*. Begitu lelaki berjenggot itu naik, lelaki sakit jiwa itu turun. Dan saya nangis aja lhooo di pojokan angkot. Entah masih shock atau lega. Tengsin diliatin Mas berjenggot itu, saya tutupin muka pake jilbab pura2 cuek. Lalu kemudian beberapa menit setelah itu tiga cewe naik dan melajulah angkot.

Sampe rumah kakak, saya disambut ponakan2 tercinta. Rupanya semua pada khawatir. Takut ada apa2. Setelah ceritain kejadian saya jalan kaki hampir sejam dan ketemu cowo sakit jiwa di angkot, ponakan saya bilang, “Wehweh keren Mbak!” Mungkin bukan keren, tapi Alhamdulillah Allah masih melindungi saya malam itu.

Sebelum beranjak tidur, saya kirim SMS bersamaan ke Jenong, Bekel, dan Windot:

“Hey, kalian udh sampe rmh blm? Aku baru sampe rmh stlh hmpr 1 jam lbh jalan kaki gk nemu angkot k Arjosari. Hiks T.T. . . Salam cilukba muach *ketjup matjo*.”
-SENT-

“Osy, aku br nyampe rumah stlh hampir 1 ½ jam kayak gadis manis kesasar. Mana yg lebih hiks coba? Tp Alhamdulillah, nyampe rumah dg selamat.” –Bekel-

“Barusan masuk rumah, Ndul :D” –Jenong-

“Haha. ..aq dah indehoy dr jam stengah 9. Asooooyy…” –Windot-

Saya bersyukur mereka cewe tangguh. Terutama Jenong yang ternyata punya jiwa preman juga, dia pulang malem2 ke Blitar sendirian dengan motor.

Satu hari itu bikin saya mikir, “saya harus tulis pengalaman hari ini!”