Selasa, 21 Juni 2011

MTD 2011: Ustadz Erryk, Tiga Cewe Tangguh, Saya dan Lelaki Angkot Sakit Jiwa


Akhirnya ketemuan juga!! Setelah berbulan2 merencanakan, niat tulus itu tercapai *iyeiy emang lebay*.

Sebelumnya saya tak pernah begitu akrab dengan mereka.

Himmatul Hasna Ardhiana. Saya mengenalnya pertama kali saat kami satu kelas di semester pertama. Kelas E. Tidak mengenal secara dekat memang, hanya saling menyapa jika berjumpa. Saat semester lima ternyata kita sekelas lagi, mengambil konsentrasi sastra. Tapi itupun tak mendekatkan kita. Mungkin karna kita sama2 pendiem *ehhemm*. Dia paling imut diantara kita berempat. Jadi tidak heran kalau tiba2 ada yang tanya ke dia, “Dik, SMP kelas berapa?” karena saking imutnya kaya marmot. Hueehheee

Dewi Faricha. Cewe yang pernah memaksa saya masuk perpustakaan dengan berbagai cara. Saat itu kartu mahasiswa saya dipenjem oleh temen, dan dia dengan penuh keyakinan menyuruh saya pinjem kartu salah satu temen cowo –Sunu Farid Lathif (baca: Suneo)- untuk bisa masuk perpustakaan. Awalnya saya pun yakin semua akan baik2 saja, tapi ternyata penjaga perpustakaan bukanlah penderita rabun sehingga bisa membaca identitas kartu tersebut di layar computer. Saya dan Suneo kena blacklist. Matilah saya dan Dewi pengen saya getok saat itu. Haha. Setelah lulus saya berkesempatan untuk membalas dendam. Dia saya paksa ikut program TOEFL di Unibraw. Ternyata benar dugaan saya, anak ini paling mudah dirayu. Dan jadilah kami partner di kelas TOEFL selama sebulan. Uooohhh! Meski termasuk anak yang baik hati, tapi rupanya kalau saya jorokin ke selokan dia ngamuk juga *ya iyalaaah*.

Winda Vikriana. Sama halnya seperti Himma, Winda adalah temen sekelas saya di semester pertama. Hampir tak ada hal yang saya tau tentangnya selain tubuh jangkungnya yang bikin saya iri. Mungkin seharusnya dia sekolah modeling daripada mengambil fakultas Sastra Inggris *yang bernama Winda  jangan GR!*. Baru beberapa bulan terakhir ini kita akrab dan saling curhat. Ternyata dia cukup asik untuk dijadikan objek pembantaian secara verbal. Hahaha *Piss ah ^0^v

Lalu, gerangan apa yang membuat kita berempat akrab? Jawabannya adalaaaahhh *gaya Fitrop*: PACEBOK! Ya, pacebok telah menyatukan hati kita yang terserak. Huwwoouuwww!!
Saking dekatnya, saya punya panggilan khusus untuk mereka:

Himma ---> Jenong
Dewi ---> Bekel
Winda ---> Windot Surodot

Jumat lalu, tepatnya tanggal 20 Mei 2011, kita berempat bertemu di kampus. Nostalgia kuliah. Agenda kita saat itu menjumpai Ust. Erryk in face setelah sebelumnya kita bersahabat di facebook. Kalau kata orang sunda mah kopdar alias kopi darat. Mungkin lain kali lahir istilah teh darat atau susu darat?! Who knows??
Ust. Erryk yang kata Windot, “gile, ini Ustadz kharismatik banget yak!”. Dan memang beliau lebih jamil dari fotonya. Aihh! Hehehe *punten, Ustadz :p*. Kalau sebelumnya ekspektasi saya tentang beliau adalah seorang Ustadz yang nakutin, setelah bertemu dan ngobrol langsung ternyata beliau lebih open-minded dari yang saya kira. And I can say, nice to know you, Ustadz! InsyAllah lain kali kita bisa ngobrol lebih seru dan lama dari kemarin.

Setelah kopdar dengan Ust. Erryk, kami jalankan rencana awal. Nyetrika jalan Ijen dalam rangka meramaikan pameran Malang Tempo Doeloe (MTD). Setelah sholat Maghrib, kita meluncur ke TKP dengan transport andalan: ANGKOT. Benar saja jalan Ijen tak ubahnya pasar kaget di malam hari. Sepanjang jalan hanyalah lautan manusia. Laki-perempuan, tua-muda, lokal-bule, dari yang kulit putih sampe gigi kuning *eh?*.  Semua berjubel sampai nyaris tak ada ruang buat kentut.

Ada yang jualan barang2 antik, baju batik, handicraft, bahkan makanan khas. Anehnya ada penjual kerak telor. Bikin saya bertanya2, ini saya sedang di Malang Tempo Doeloe atau Pekan Raya Jakarta?? Ada juga yang jual poster pahlawan2 nasional, termasuk proklamator kita Sukarno. Saat itu di belakang saya ada tiga cowo gondrong bilang dengan heboh sampe muncrat, “sumpah istri Sukarno yang dari Jepang itu cuantike puooolll, rek!” Medok kali kau, Mas! Saya dan Jenong cuma senyum2 najong.

Windot yang beberapa kali didorong oleh para remaja alay, balik dorong dengan sadis. Ternyata dia punya bakat preman. Hohoho. Saya dan Bekel sendiri berulang kali disuguhi pemandangan peluk2an cowo-cewe, entah pasangan legal atau bukan. Windot yang juga melihat ini langsung berdoa dengan tangan menengadah, “Ya Allah, mudah2an MTD taon depan kita berempat bis ke sini dengan suami masing2”, kita bertiga mengamini dan langsung sholat hajat di tempat *ya enggaklaaah!* hehehe.

Di setiap kesempatan kita selalu foto. Terutama si Bekel yang di luar dugaan saya ternyata seorang Magifo (Manusia Gila Foto). Depan prasasti UIN, minta difoto. Di samping pemain gamelan, minta difoto. Makan gulali, minta difoto. Giliran kecapean aja, dia minta dipijit.

Makin malem suasana makin rame. Dan kita makin sulit bergerak. Karna takut ilang, kita saling pegang kuping, eh tangan. Bahkan ada gerombolan remaja yang sengaja bikin barisan kereta dari depan ke belakang. Pengen tiba2 gabung ama mereka tapi takut dikira saraph, akhirnya urung. Beragam type dandanan kita temui. Ada cewe yang agaknya kerepotan jalan karna memakai high-heels. Bisa dipastikan sampe rumah betisnya jadi segede bage. Ada pria tambun yang pake kostum kodok dengan kamera menggantung di pundaknya. Entah photographer entah komedian. Ada pula serombongan pria berkostum batik dengan kacamata item. Mungkin korban fashionista *fashion yang bikin orang nista*. Kita berempat jadi kritikus mode dadakan saat itu.

Malam makin larut dan dingin udara Malang menciptakan romansa tersendiri *tsaah!*. Sebelum berpisah jalan kita masih sempat foto di pos polisi Ijen.  Pak polisi yang saat itu jaga terus saja perhatiin kita. Mungkin pengen ikut foto atau mungkin naksir dengan salah satu diantara kita untuk dijadikan menantunya =_=
Saya saat itu yang paling resah gelisah gelora di jiwa, bingung musti cari angkot ke arah mana karna jalur angkot saat itu ditutup. Antara ragu dan masih kangen, dengan berat hati saya pamit lebih dulu meninggalkan mereka bertiga. Ada rasa pengen ditemenin nyari angkot, tapi gak enak nyusahin toh mereka juga musti pulang. Setidaknya Jenong udah kasih petunjuk ke arah mana saya harus melangkah jalan. Setelah cipika-cipiki, saya capcus pergi.

Saya susuri jalan hingga melewati Mall Olympic Garden (MOG), tapi angkot jurusan Arjosari tak kunjung melintas. Ada tiga kali saya berhenti untuk tanya ke polisi, jawabannya selalu sama, “Wah, masih jauh, dik!” Terakhir kali ada polisi di stop-an lampu merah saya samperin dengan pertanyaan serupa, dia jawab, “ini ada angkot AT di sini tapi biasanya lama. jalan terus aja dik, nanti di ujung jalan ini ada perempatan ke arah timur ada AL.” Saya yang buta arah, tanya lagi, “Timur itu mana ya, Pak?” Gubrak!!

Tak kunjung nemui angkot jurusan Arjosari, saya semakin kalut. Saya tak pernah selarut ini malam2 keliaran di jalan, sendirian pula. Mau menghubungi Kakak, baru sadar HP saya mati karna low-bat. Saking kalutnya hampir dicium mobil gara2 jalan ke arah tengah. Kendaraan yang ada di belakang ikut2an klakson. Huhuhu.
Dengan sisa harapan yang ada, di dekat perempatan jalan Basuki Rahmat, seorang Bapak Tua tukang parkir memberi saya petunjuk arah sampe bantuin nyegat angot GA. Yak, saya jalan kaki dari jalan Ijen hampir sejam dan baru nemu angkot jurusan Arjosari dekat Rumah Sakit Syaiful Anwar dengan bantuan Bapak Tua baik hati. Mungkin beliau kasian melihat saya.

Angkot yang saya naiki sepi, hanya ada saya, sopir angkot yang rambutnya gondrong dan celana sobek2, dan seorang lelaki di samping sopir (mungkin asistennya). Saya duduk di belakang sopir dengan agak was-was. Perasaan saya gak enak. Saya cewe sendiri di angkot itu.

Untung tak dapat diraih, Malang deket Kediri. Tiba2 ada seorang lelaki bertopi turun dari angkot di depan pindah masuk ke angkot saya. Lelaki ini, tatapan matanya begitu nyalang dan terus memperhatikan saya. Dalam hati saya mengoreksi diri, “Ya Allah, apa yang lelaki ini lihat dari saya? Badan sama seklai gak seksi, wajah juga gak cantik. Baju saya kah? Baju saya panjang, sama sekali gak ketat, berjilbab.  Pake rok pula!” Sambil menyedot rokoknya dalam2, jakunnya naik-turun. Tanpa diduga, dia malah duduk mendekat dengan kepala dia julurkan tepat di hadapan saya. Saya refleks menggeser duduk menjauhi dia. Masang tampang galak, padahal tangan udah gemetaran. Saya berharap si sopir dan asistennya lihat, tapi entah geblek entah emang gak tau mereka diem aja.

Di tengah ketakutan itu, otak saya sudah mikir yang macem2. Kalau sampe lelaki sakit jiwa ini berani sentuh saya sedikit aja, saya sudah siap ambil ancang2 pake jurus beladiri: gampar telinganya sampe gendangnya pecah, tonjok jakunnya sampe pindah posisi, atau tendang selangkangannya sampe mejret. Lagi2 tatapannya mampir menyelidik dan saya pengen jerit. Sholawat tak henti saya baca. Hingga akhirnya ada penumpang lain naik, seorang lelaki yang sepertinya macem ikhwan gitu dengan jenggot tipis menjuntai *gak bolah liat lelaki berjenggot dikit pasti bilangnya ikhwan. huhu*. Begitu lelaki berjenggot itu naik, lelaki sakit jiwa itu turun. Dan saya nangis aja lhooo di pojokan angkot. Entah masih shock atau lega. Tengsin diliatin Mas berjenggot itu, saya tutupin muka pake jilbab pura2 cuek. Lalu kemudian beberapa menit setelah itu tiga cewe naik dan melajulah angkot.

Sampe rumah kakak, saya disambut ponakan2 tercinta. Rupanya semua pada khawatir. Takut ada apa2. Setelah ceritain kejadian saya jalan kaki hampir sejam dan ketemu cowo sakit jiwa di angkot, ponakan saya bilang, “Wehweh keren Mbak!” Mungkin bukan keren, tapi Alhamdulillah Allah masih melindungi saya malam itu.

Sebelum beranjak tidur, saya kirim SMS bersamaan ke Jenong, Bekel, dan Windot:

“Hey, kalian udh sampe rmh blm? Aku baru sampe rmh stlh hmpr 1 jam lbh jalan kaki gk nemu angkot k Arjosari. Hiks T.T. . . Salam cilukba muach *ketjup matjo*.”
-SENT-

“Osy, aku br nyampe rumah stlh hampir 1 ½ jam kayak gadis manis kesasar. Mana yg lebih hiks coba? Tp Alhamdulillah, nyampe rumah dg selamat.” –Bekel-

“Barusan masuk rumah, Ndul :D” –Jenong-

“Haha. ..aq dah indehoy dr jam stengah 9. Asooooyy…” –Windot-

Saya bersyukur mereka cewe tangguh. Terutama Jenong yang ternyata punya jiwa preman juga, dia pulang malem2 ke Blitar sendirian dengan motor.

Satu hari itu bikin saya mikir, “saya harus tulis pengalaman hari ini!”

0 comments:

Posting Komentar

Thanks for the comments, pals.
Follow me and Keep always in touch.